Perjalanan Dalam Bayangan Banten: Catatan Seorang Pengembara

12.58

Suasana Terminal kadubanen yang lengang

Samar, namun di ujung telinga masih meresap suara-suara calo Rangkasbitung. Profesi ini, seperti rahasia dalam sebuah pusaran, tak ada yang tahu asal muasalnya. Namun, para calo ini berdiri tegap dalam pusaran persaingan modern yang ganas, membuktikan kemampuan mereka untuk bertahan dalam berbagai keterbatasan. Bertahan dengan menjadi calo angkutan umum, meski mungkin hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan masih sering kurang.

Perjalanan saya dengan angkutan umum perkotaan, atau lebih akrab dikenal sebagai angkot, berjalan lambat seperti kura-kura, berhenti sesekali untuk menampung penumpang baru. Setengah jam kemudian, saya dipindahkan ke angkutan lain yang akan membawa saya ke Terminal Kadubanen di wilayah Pandeglang, Banten.

Terminal Kadubanen dalam Senja

Terminal Kadubanen tampak seperti sebuah panggung yang kehilangan penontonnya. Sebentar-sebentar saja terdengar suara mesin kendaraan yang singgah. Sambil menunggu bus, saya mengobrol dengan petugas terminal tentang perkembangan kota Pandeglang. Dalam lima tahun terakhir, perkembangan infrastruktur di sini sangat pesat, terbukti dari banyaknya jalan aspal yang kini melintasi pelosok wilayah.

Bus yang saya nantikan akhirnya tiba, dan saya melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Merak. Namun, perjalanan belum berakhir, saya harus transit di Terminal Serang.

Sajak Bus Serang

Bus menuju Serang melaju seperti kuda liar, membuat saya beberapa kali terbentur jendela. Namun, berkat jalan aspal yang mulus, perjalanan masih bisa saya nikmati tanpa mabuk perjalanan. Tiba di Terminal Serang, saya kemudian bergegas menuju WC umum sebelum beranjak naik bus jurusan Pelabuhan Merak.

Bus ini tampak nyaman dengan AC-nya, namun saya lebih memilih ruangan belakang yang biasa digunakan untuk merokok. Ruangan ini hanya bisa menampung empat hingga lima orang penumpang, walau sebenarnya tempat ini khusus untuk merokok.


Misteri Bus Merak dan Klenik Banten

Bus Serang menuju Pelabuhan Merak terkenal dengan aksi copetnya. Beberapa orang dengan sikap mencurigakan muncul di tengah perjalanan. Bahasa sandi yang mereka gunakan, yang saya yakin merupakan sandi jaringan pencopet, menjadi bunyi-bunyi misterius di dalam bus.

Seorang kakek berusia sekitar lima puluh tahunan duduk di sebelah saya. Ia baru saja pulang dari Cirebon, mengunjungi anaknya yang sakit dan mendapat cincin biru dari seorang kiai dengan mahar dua ratus ribu. Meski saya yakin pada kenyataannya, cincin tersebut adalah imitasi, namun cahaya yang terpancar dari mata kakek itu menunjukkan keyakinan yang kuat pada tuah yang diberikan kiai tersebut. Banten, memang, sejak dahulu dikenal dengan misteri-misterinya. Kisah-kisah ilmu hitam dan ilmu kejayaan sangat erat kaitannya dengan daerah ini. Tidak heran jika kepercayaan klenik masih begitu kuat di Banten, meski arus modernisasi telah menyentuh setiap sudutnya.

Hari mulai memendam diri di balik cakrawala, dan jam menunjukkan pukul dua sore saat saya tiba di Pelabuhan Merak. Di sana, saya bertemu dengan seorang penumpang bus yang juga hendak menyeberang ke Bakauheni. Sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Merak, saya banyak mendapatkan informasi tentang pelabuhan itu dan Pelabuhan Bakauheni, mulai dari rute hingga gosip-gosip tentang aksi kriminal di sana. Setelah berbelanja kebutuhan di Alfamart, saya melangkah masuk ke wilayah pelabuhan setelah membayar tiket sebesar tiga belas ribu rupiah.

Menyusuri Laut Sunda

Kini, perjalanan akan berlanjut melintasi selat yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Air laut yang biru berkilauan di bawah cahaya mentari sore, dan angin sepoi-sepoi meniup rambut saya. Di kejauhan, tampak kapal-kapal besar berlayar dengan gagah, menciptakan gelombang kecil yang tampak seperti permadani hijau yang menghias laut.

Seiring matahari yang semakin tenggelam, saya duduk di atas kapal, menyaksikan langit yang berubah warna dari biru menjadi jingga, lalu merah, dan akhirnya hitam. Bintang-bintang mulai bermunculan, seolah-olah mereka adalah lampu kecil yang menerangi langit malam. Suara gemuruh mesin kapal dan desiran ombak menjadi musik pengantar tidur saya.

Kapal berlabuh di Pelabuhan Bakauheni saat fajar mulai merekah. Saya melangkah turun dari kapal, merasakan udara pagi yang segar dan melihat kehidupan di pelabuhan yang mulai bangun dari tidurnya. Meski lelah, semangat petualangan masih membakar dalam diri saya.

Perjalanan panjang ini bukan hanya tentang pindah dari satu tempat ke satu tempat lain, melainkan juga tentang apa yang saya temui di sepanjang jalan. Banten, dengan segala keunikan dan misterinya, telah memberikan banyak pelajaran dan pengalaman yang tak terlupakan.


Suasana di terminal kadubanen

You Might Also Like

0 komentar