Pelabuhan Merak - Selat sunda yang memisahkan mereka

15.28

Dermaga Pelabuhan Merak memang seperti hamparan lautan, debur ombaknya teredam oleh suara-suara kemanusiaan. Kapal penumpang yang seharusnya membawa kami menyeberangi ke Pelabuhan Bakauheni tampak enggan berangkat. Sambil menunggu, saya menjelajahi setiap sudut kapal, dari lantai paling bawah hingga lantai ketiga, dari puncak hingga ke lambungnya. Menariknya, ada anak-anak pelabuhan yang menawarkan jasa menangkap uang receh kertas yang dilemparkan oleh para penumpang. Kini, tradisi penangkapan uang koin telah berganti menjadi permainan menangkap uang kertas.

Anak-anak pelabuhan si penangkap uang kertas receahan


Kami menunggu sekitar tiga puluh menit sebelum kapal beranjak, membawa kami menuju Bakauheni. Menurut seorang penumpang, lama perjalanan bisa mencapai dua hingga empat jam, tergantung pada kondisi cuaca di laut. Bila beruntung, satu setengah jam sudah cukup untuk sampai di seberang. Namun, jika cuaca buruk, empat jam atau bahkan lebih baru bisa sampai.

Hari ini, cuaca cukup bersahabat. Meski Banten telah diguyur hujan lebat, namun sore ini cuaca cerah dan angin tak begitu besar. Sirine kapal dan suara mesin bergantian terdengar, sementara saya mencari tempat duduk yang nyaman. Tiba-tiba kepala terasa pening dan perut mual, saya habiskan sepotong roti untuk menahan rasa itu.


Kurang dari satu jam kemudian, saya harus berlari ke toilet. Muntah, mungkin karena mabuk laut. Saya cukup beruntung karena muntah di toilet, tidak seperti beberapa remaja yang baru pulang liburan dan muntah di kursi penumpang.

Setelah hampir dua jam, sirine kapal berderu kembali, tanda bahwa kapal akan segera berlabuh di Pelabuhan Bakauheni. Sebelum meninggalkan kapal, saya bertukar nomor telepon dengan beberapa penumpang yang telah menemani saya sepanjang perjalanan.

Satu hal yang menjadi kekhawatiran saya adalah soal premanisme. Lampung terkenal dengan karakter penduduknya yang keras dan banyaknya preman yang berkeliaran, terutama di wilayah pelabuhan dan terminal. Namun, dengan bantuan teman baru di kapal, saya bisa keluar pelabuhan dengan aman.

Saya memilih naik angkutan kota dari Lampung menuju Kalianda, meski harga angkutan di sini cukup mahal dibandingkan rata-rata tarif angkutan dari pelabuhan ke Kalianda mencapai 20.000 rupiah per orang. Di tengah perjalanan, kami dilempar ke angkutan lain di daerah Way Gayam. Selama di dalam angkutan, saya berbincang dengan beberapa penumpang tentang Kalianda, budaya dan cara hidup masyarakatnya. Di samping saya duduk seorang wanita muda asal Lampung, cantik dengan kulit putih bersih dan wajah yang memancarkan keanggunan dan ketegasan, begitu eksotis.

Menjelang magrib, angkutan berhenti di Pasar Inpres Kalianda. Tempat itu tampak sepi, hampir semua toko sudah tutup, hanya beberapa penjual pulsa yang masih buka. Setelah berkeliling di pasar Inpres, saya beristirahat di sebuah warung makan Padang, menikmati makan malam disana.

Setelah makan, saya berbicara banyak dengan pemilik warung tentang perjalanan saya dari kampung hingga berakhir di warung mereka. Saya mendapat banyak referensi tempat eksotis di sekitar Kalianda, seperti Gunung Rajabasa, Pemandian Air Panas Way Belerang, dan beberapa pantai yang mengelilingi wilayah Kalianda, salah satunya adalah Pantai Boom. Sebelum pamit, pemilik warung dengan baik hatinya memberikan bekal makanan berupa telur dadar dalam satu kresek penuh. Saya mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan.

Perjalanan kali ini memberikan banyak pengalaman dan kenangan baru. Dari perjumpaan dengan anak-anak pelabuhan yang tangkas menangkap uang kertas, pertemuan dengan penumpang-penumpang kapal yang ramah, hingga makan malam di warung Padang di Kalianda. Semua menjadi bagian dari cerita perjalanan yang tak terlupakan. Saya tak sabar untuk menjelajahi lebih jauh tentang Kalianda dan menikmati keindahan alamnya.

Bersambung...

You Might Also Like

0 komentar