Kilauan Merah Memudar di Antara Ketimpangan Sosial

23.44


Sebentar tadi, malam berbisik lembut pada dunia, namun matahari sore masih berkeras hati menampakkan cahayanya. Momen peralihan ini mewarnai cakrawala dengan kilauan merah memudar, semacam syair tanpa kata yang merayu malam untuk segera memeluk dunia. Dalam tatapan jauh, kabut keemasan matahari senja mulai diserap oleh warna kelam yang perlahan merayap, menandakan bahwa siang harus beranjak pergi.

Di kejauhan, terlihat kerumunan petani yang masih berbaur dengan sawah-sawahnya, sibuk memperbaiki saluran air yang rusak. Penyebabnya beragam, mulai dari ulah anak-anak yang tengah asyik mencari belut, hingga mungkin saja serobotan dari pemilik sawah sebelah. Peristiwa seperti ini, memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita desaku.

Hari ini, dua hari menjelang pergantian tahun menuju 2017, aku memilih untuk pulang lebih awal. Aktivitas di Karawang seakan meredup, dan tak ada lagi yang bisa kulakukan di sana. Sejak beberapa waktu belakangan, aku sering pulang ke kampung, setidaknya seminggu sekali, sebuah perubahan dari rutinitasku yang biasanya hanya pulang setiap dua sampai tiga bulan sekali.

Sebagai seorang pemuda desa, atau tepatnya pemuda yang berasal dari desa, aku memiliki gambaran yang jelas tentang kehidupan di sini. Desaku berada di perbatasan, dan ketimpangan sosial di sini begitu nyata terasa. Banyak sahabat-sahabatku yang belum merasakan pendidikan yang memadai, bahkan ada yang sama sekali tak pernah menjejakan kaki di bangku sekolah. Dampak yang dirasakan adalah tingginya angka pengangguran, kemiskinan yang merajalela, dan ketidakadilan yang begitu nyata. Jika tak ada solusi yang tepat, mereka hanya akan menjadi masyarakat terpinggirkan, bukan proletar atau borjuis. Mereka adalah korban dari kapitalisme yang merajalela, yang merusak negeri ini.

Negeri ini mungkin tampak begitu damai, sehingga masyarakat tak merasa ketimpangan sosial yang mereka alami adalah kontradiksi. "Nrimo pandum," sebuah peribahasa Jawa yang berarti menerima apa adanya, masih menjadi pegangan, bukan hanya bagi generasi tua, tapi juga bagi generasi muda di desa.

Tegal Malaka, 29 Desember 2017.

You Might Also Like

0 komentar